Badui

Saturday, 30 October 2010

Macam-Macam Budaya Lokal: Masyarakat Badui


Di antara sekian banyak masyarakat desa yang ada di Indonesia, sepertinya masyarakat Badui tidak termasuk yang agresif menuntut banyak hal kepada pemerintah pusat. Seperti tak lekang oleh panas dan hujan, mereka tetap bertahan mempertahankan tradisi yang mereka yakini.

Tak pernah tersurat kabar, mereka berdemo menuntut pemerataan pembangunan, meminta-minta dibukanya lowongan pekerjaan, atau memohon ditundanya kenaikan harga barang. Oleh karenanya mereka tetap hidup dalam ketenangan dan kedamaian, tak terpengaruh dengan keadaan di perkotaan.

Mengapa bisa demikian? Untuk menjawabnya kta harus mengenal lebih jauh, apa, siapa, dan bagaimana masyarakat Badui ini.

Asal usul

Banyak yang berpendapat masyarakat Badui yang saat ini tinggal di Kanekes tepatnya di kaki gunung Kendeng, desa Leuwidamar, Banten berasal dari sisa-sisa pasukan Padjajaran yang setia pada Prabu Siliwangi.

Ada juga yang berpendapat mereka adalah sekumpulan orang yang memang ditugaskan oleh penguasa pada zaman itu, yaitu Raja Rakeyan Darmasiksa untuk menjaga keaslian budaya mereka yang disebut Kabuyutan Jati Sunda atau “Sunda Wiwitan”. Jadi memang sejak awal masyarakat Badui sudah mengemban misi “suci”, yaitu menjaga tradisi dan budaya Sunda Wiwitan.

Kepercayaan

Inti dari kepercayaan Badui adalah konsep “pikukuh” atau kepatuhan yang tercermin dari kalimat “lojor heunteu beunang dipotong, pondok heunteu beunang disambung”. Maksudnya adalah menerima apapun yang sudah ada sejak dulunya dari nenek moyang mereka, tanpa ada penambahan atau pengurangan sedikit pun.

Itulah sebabnya tata cara hidup mereka hampir tidak ada perubahan terutama bagi warga Badui Dalam. Mulai dari pemujaan, penyikapan terhadap alam, penghormatan terhadap lingkungan, pakaian, mata pencaharian, termasuk alat yang digunakan dan sebagainya. Khusus untuk warga Badui luar, ada beberapa hal yang bisa ditolerir seperti penggunaan alat, pakaian.

Kepala Suku

Kepala suku atau pemimpin adat tertinggi masyarakat Badui disebut Puun, sedangkan pelaksana pemerintahan adat sehari-hari disebut Kapuunan yang terdiri atas 4 Jaro. Masing-masing Jaro memiliki tugas yang berbeda-beda.

Jabatan Puun berlangsung turun temurun, namun tidak berarti setelah Puun meninggal otomatis digantikan anaknya. Puun dapat berhenti apabila sudah merasa tak sanggup lagi karena uzur dan dapat digantikan oleh kerabat lainya.

Jadi, itulah sebabnya hampir tidak ada berita terjadi kerusuhan massa, demonstrasi atau perilaku anarkis lainnya yang disebabkan ketidakpuasan terhadap pemerintah di wilayah masyarakat Badui. Karena mereka memegang teguh adat secara turun temurun.

Tidak ada warga Badui yang bekerja sebagai buruh pabrik atau PNS. Pergi dengan mengendarai motor atau mobil, membeli barang kebutuhannya di warung atau di pasar. Pendek kata mereka adalah masyarakat yang mandiri dengan mencukupkan kebutuhan hidupnya dari alam tempat mereka bernaung.

Jadi, mereka tak butuh lowongan pekerjaan, perbaikan sarana dan jalan, atau menuntut penurunan harga barang.


Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 komentar:

Post a Comment

My YM

Status YM

My Twitter

Follow marif.handoko on Twitter

Categories

Powered by Blogger.

Followers