Menyelamatkan Naskah Jawa Kuno:

Monday, 28 February 2011

Sumber: Media Indonesia


Seorang peneliti Australia mendedikasikan diri untuk merawat buku-buku sastra
Jawa lama.

JJ ATUH cinta pada pandangan pertama terhadap kebudayaan Jawa menimpa John
Paterson. Itu berawal dari sebuah penelitian yang dilakukan pria bule asal
Australia ini.

Dengan berawal dari sebuah penelitian, Paterson akhirnya memutuskan untuk
mendedikasikan diri pada upaya pelestarian sumber kebudayaan Jawa, yakni buku
dan naskah beraksara Jawa kuno.

"Saya merasa kesengsem karena budaya Jawa itu, terutama sastranya, sangat
indah," kata Paterson tersenyum ketika dijumpai di Yayasan Sastra Solo, pekan
lalu.

Ketertarikan Paterson muncul saat ia sedang menyelesaikan sebuah penelitian
sebagai prasyarat kelulusan pada studi sarjana S-1 jurusan sejarah di
Universitas Melbourne. Itu terjadi pada sekitar awal 1980.

Pada saat itu, kebetulan ia mendapatkan beasiswa untuk melakukan penelitian di
luar negeri.

Sesungguhnya, kisah Paterson dimulai saat ia menghadapi sejumlah pilihan negara.
Seperti dibimbing tangan takdir, hati kecilnya memutuskan untuk menjalankan
penelitian tersebut di Solo saat ia mengambil topik penelitian mengenai
perkembangan budaya Jawa.

Saat pertama bersentuhan secara langsung itulah, menurut John, rasa
keterpikatannya langsung tergugah. Akhirnya dia memutuskan untuk mempelajarinya
secara lebih mendalam. Karena tidak ingin setengah-setengah, ia secara khusus
juga mulai belajar bahasa dan aksara Jawa.

"Itu ternyata cukup sulit, tetapi justru di sinilah letak daya tariknya. Untuk
bisa mempelajari bahasa dan aksara Jawa secara utuh, kita harus memulainya dari
hanacaraka," kata John yang kini sudah fasih menggunakan bahasa Jawa itu.

Pengumpulan Setelah lepas dari penelitian sekitar 1,5 tahun kemudian, John
kembali ke Australia meneruskan studi ke jenjang magister di Universitas Mo
nash. Tetapi ketertarikannya pada budaya Jawa khususnya buku dan naskah
beraksara Jawa tetap tumbuh subur. Di sela-sela kesibukannya menyelesaikan
pendidikan, saat ada kesempatan berkunjung ke Solo, Paterson mulai melakukan
upaya pengumpulan. Entah sudah berapa banyak tempat-tempat perdagangan buku
bekas yang telah ia satroni.

Yang jelas, sampai saat ini tidak kurang 6.000 buku dan naskah beraksara Jawa
sudah berhasil dikumpulkan. Memang tidak semuanya merupakan hasil berburu,
karena ada juga yang berasal dari sumbangan atau pemberian kenalannya yang
bersimpati terhadap upaya kerasnya itu.

John ternyata tidak berhenti pada upaya pengumpulan dan penyelamatan semata.
Selain menyelamatkan, ia berkeingi nan agar buku dan naskah beraksara Jawa yang
menurutnya banyak mengandung pelajaran berharga itu bisa diakses secara luas.

Karena itulah, pada 1998 ia bersama sejumlah kenalan mendirikan Yayasan Sastra
yang kini menempati sebuah rumah di Kampung Jageran 117, RT 03, RW 04, Kelurahan
Ketelan, Kecamatan Banjarsari, Solo.

Kegiatan yang mereka lakukan tidak lagi sebatas pendataan dan pengarsipan
(penyelamatan), tetapi juga pengalihaksaraan ke bahasa latin dan mengunggahnya
ke komputer.

"Kami berencana menerbitkannya pada sebuah website.

Selain supaya bisa diakses secara lebih luas dan mudah, naskah aslinya bisa
tetap awet.

Maklum, rata-rata sudah berusia tua sehingga sangat rentan jika sering
disentuh," tambah John yang kini sedang menempuh studi doktor sejarah di
Universitas Melbourne itu.

Sejak dimulai 12 tahun silam, sampai saat ini sudah ada 1.600 buku dan naskah
atau sekitar 800 judul yang telah selesai dikerjakan.

John mengaku pengerjaannya memang memakan waktu yang cukup lama. Satu buku atau
naskah saja bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Proses pengalihaksaraan Serat Bauwarna, misalnya, memakan waktu pengerjaan
hingga tiga tahun lamanya. Begitu pula proses transkripsi Quran Jawi.

Untuk menjaga kondisi, buku dan naskah asli yang telah selesai dikerjakan
disimpan dalam sebuah kotak plastik khusus yang ditempatkan pada lemari
penyimpanan yang didesain secara khusus pula di Yayasan Sastra.

Sebelum ditempatkan di yayasan, sekitar 6.000 buku dan naskah tersebut sempat
dibawa ke Australia. John mengaku hal itu semata-mata karena pertimbangan
perawatan dan untuk memudahkan pengerjaan.

Setelah yayasan terbentuk, sedikit demi sedikit ia memboyongnya kembali ke Solo.

Saat ini sudah ada 3.000-an buku yang ia bawa kembali dan simpan di yayasan.
Sisanya masih tersimpan rapi di kediaman Paterson di Australia.

Penyelamatan Namun, niat baik Paterson itu tak selamanya mendapatkan perhatian
positif. Belum lama ini, ia bahkan ditimpa kabar tak sedap, dituding membawa
kabur ribuan buku dan naskah beraksara Jawa ke Australia.

John pun meradang, apalagi tudingan yang dialamatkan kepadanya telah berdampak
sangat luas. Tidak hanya mencoreng namanya secara pribadi, tetapi juga
menyangkut keluarga, yayasan, dan yang lebih parah lagi ternyata pemberitaan
miring itu berpengaruh terhadap jaringan penyelamatan yang dirintisnya selama
ini.

"Banyak sekali telepon dan email kepada saya menanyakan kebenaran kabar itu. Ini
jelas sangat merugikan pekerjaan saya.

Padahal, saat ini saya sedang berencana mengajak sejumlah pihak untuk
bersama-sama melakukan kegiatan penyelamatan," katanya dalam nada tinggi.

Terlebih lagi, tudingan kepadanya itu, menurut Paterson, tidak memiliki dasar
sama sekali. Sejak awal, ia sama sekali tidak memiliki niat untuk menjadi
kolektor apalagi untuk mengomersialkan buku dan naskah itu. Yang dia lakukan,
tambah Paterson, semata-mata untuk menyelamatkan dan melestarikan.

Kalaupun sempat diboyong ke Australia, itu karena alasan keamanan. Apalagi pada
saat itu belum ada tempat penyimpanan yang memadai di samping cuacanya yang
kurang cocok.

Kini, semua buku dan naskah sastra kuno itu masih utuh dan dalam kondisi sangat
baik sehingga bisa dibawa menggunakan angkutan umum. Kalau tidak ada halangan,
kata Paterson, dalam waktu satu atau dua tahun mendatang mudahmudahan semuanya
sudah bisa disatukan di yayasan.

Paterson jelas bukan orang Indonesia, apalagi Jawa. Namun, semua kerja keras
penyelamatan yang telah dilakukannya selama ini menunjukkan betapa besar rasa
cintanya terhadap subbudaya negeri ini.

Apa yang membuatnya begitu gigih berjuang, bahkan rela merogoh kocek pribadi?
"Saya memang bukan orang Jawa, tapi cinta saya sangat besar. Saya rasa hal-hal
seperti itu tidak perlu dibesar-besarkan.

Yang penting bagaimana supaya semua ini memberikan manfaat yang lebih besar,"
kata pria yang sebentar lagi akan menikahi gadis asal Yogyakarta itu. (X-9)
ferdinand@ mediaindonesia.com BIODATA Nama : John Paterson Tempat/tanggal lahir
: Victoria, 4 September 1960 Kewarganegaraan : Australia Alamat : Victoria,
Australia : Yayasan Sastra Solo, Kampung Jageran 117, RT 03, RW 04, Kelurahan
Ketelan, Kecamatan Banjarsari, Solo Organisasi: Pendiri Yayasan Sastra Solo
Pendidikan: S-1 Melbourne University, Australia S-2 Monash University, Australia
S-3 Melbourne University, Australia (sedang menyusun disertasi)


Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

PUASA DALAM BUDAYA JAWA

Sunday, 27 February 2011

Budaya yang berlaku dalam suatu bangsa –yang mencakup paradigma, sikap, dan pola tindakan– merupakan cerminan nilai budaya bangsa tersebut. Budaya terus berkembang seiring dengan bergulirnya waktu, namun nilai budaya yang telah ada tidak akan hilang sama sekali pada masa selanjutnya. Nilai budaya itu akan menjadi unsur pembentuk, unsur yang mewarnai, mendasari, bahkan dapat mendominasi nilai-nilai budaya sesudahnya.

Menurut sejarahnya, unsur pembentuk nilai budaya Jawa masa sekarang berasal dari 3 jaman terdahulu, yaitu jaman pra Hindu-Buddha, jaman Hindu-Buddha, dan jaman kerajaan Jawa-Islam. Sejak jaman pra Hindu-Buddha, orang Jawa telah mengenal bentuk organisasi desa (Suseno, 1984). Saat itu mereka telah menjalani kehidupan dalam masyarakat yang tertata rapi sehingga terbentuk nilai-nilai sosial-kemasyarakatan yang bertahan sampai sekarang.

Konsep pergaulan masyarakat Jawa tak dapat dilepaskan dari cita-cita mistik. Etika kebatinan menyatakan bahwa cita-cita mistik yang menyatakan kemanunggalan dan keharmonisan antara manusia dan Tuhan itu adalah model bagi hubungan manusia dengan masyarakat (Mulder, 1983). Oleh karena itu masyarakat Jawa memiliki konsep pergaulan dalam dua prinsip: rukun dan hormat. Prinsip rukun menuntun agar bersikap sedemikian rupa agar tidak menimbulkan konflik. Prinsip ini menurunkan sikap: gotong-royong, tolong-menolong, dan solidaritas. Sedangkan prinsip kedua (hormat) berhubungan dengan cara bicara dan membawa diri yang selalu menunjukkan hormat dengan orang lain. Sikap-sikap yang diturunkan oleh prinsip ini adalah memiliki isin (rasa malu), akrab, dan musyawarah (Suseno, 1984; Geertz, 1961).

Bagi orang Jawa, hakikat manusia sebagai makhluk sosial adalah berbudaya. Ketika tidak menunjukkan sikap dan tingkah laku seperti kedua prinsip di atas, maka akan dikatakan durung njawa (belum jadi orang Jawa yang sebenarnya) (Mulder, 1983).

Spiritualitas Jawa

Sejak jaman awal kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Buddha), masyarakat Jawa telah memiliki sikap spiritual tersendiri. Telah disepakati di kalangan sejarawan bahwa, pada jaman jawa kuno, masyarakat Jawa menganut kepercayaan animisme-dinamisme. Yang terjadi sebenarnya adalah: masyarakat Jawa saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan yang bersifat: tak terlihat (gaib), besar, dan menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar mendapat perlindungan, dan juga berharap agar tidak diganggu kekuatan gaib lain yang jahat (roh-roh jahat) (Alisyahbana, 1977).

Hindu dan Buddha masuk ke pulau Jawa dengan membawa konsep baru tentang kekuatan-kekuatan gaib. Kerajaan-kerajaan yang berdiri memunculkan figur raja-raja yang dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Maka berkembanglah budaya untuk patuh pada raja, karena raja diposisikan sebagai ‘imam’ yang berperan sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia (Simuh, 1999). Selain itu berkembang pula sarana komunikasi langsung dengan Tuhan (Sang Pemilik Kekuatan), yaitu dengan laku spiritual khusus seperti semedi, tapa, dan pasa (berpuasa).

Jaman kerajaan Jawa-Islam membawa pengaruh besar pada masyarakat, dengan dimulainya proses peralihan keyakinan dari Hindu-Buddha ke Islam. Anggapan bahwa raja adalah ‘Imam’ dan agama ageming aji-lah yang turut menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena beralihnya agama raja, disamping peran aktif para ulama masa itu. Para penyebar Islam –para wali dan guru-guru tarekat- memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik (mysticism) dapat sejalan, untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinan mereka.

Spiritual Islam Jawa, yaitu dengan warna tasawuf (Islam sufi), berkembang juga karena peran sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir dan puasa, berulang kali disampaikan dalam karya-karya sastra. Petikan serat Wedhatama karya K.G.A.A. Mangku Negara IV:

Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani. Setya budya pangekese dur angkara (Pupuh Pucung, bait I)

Artinya:

Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku (mujahadah), dimulai dengan niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan.(Mengadeg, 1975).

Di sini ngelmu lebih dekat dengan ajaran tasawuf, yaitu ilmu hakikat / ilmu batin, karena dijalani dengan mujahadah / laku spiritual yang berat (Simuh, 1999). Dalam masyarakat Jawa, laku spiritual yang sering dilakukan adalah dengan tapa, yang hampir selalu dibarengi dengan pasa (berpuasa).

Puasa dalam Masyarakat Jawa

Pada saat ini terdapat bermacam-macam jenis puasa dalam masyarakat Jawa. Ada yang sejalan dengan fiqih Islam, namun banyak juga yang merupakan ajaran guru-guru kebatinan ataupun warisan jaman Hindu-Buddha. Kata pasa (puasa) hampir dapat dipertukarkan dengan kata tapa (bertapa), karena pelaksanaan tapa (hampir) selalu dibarengi pasa.

Di antara macam-macam tapa / pasa, beberapa dituliskan di bawah ini:

Jenis:

Metode:

-

pasa di bulan pasa (ramadhan)

sama dengan puasa wajib dalam bulan ramadhan. Sebelumnya, akhir bulan ruwah (sya’ban ) dilakukan mandi suci dengan mencuci rambut

-

tapa mutih (a)

hanya makan nasi selama 7 hari berturut-turut

-

tapa mutih (b)

berpantang makan garam, selama 3 hari atau 7 hari

-

tapa ngrawat

hanya makan sayur selama 7 hari 7 malam

-

tapa pati geni

berpantang makan makanan yang dimasak memakai api (geni) selama sehari-semalam

-

tapa ngebleng

tidak makan dan tidak tidur selama 3 hari 3 malam

-

tapa ngrame

siap berkorban /menolong siapa saja dan kapan saja

-

tapa ngéli

menghanyutkan diri di air (éli = hanyut)

-

tapa mendem

menyembunyikan diri (mendem)

-

tapa kungkum

menenggelamkan diri dalam air

-

tapa nggantung

menggantung di pohon

-

dan masih banyak lagi jenis lainnya seperti tapa ngidang, tapa brata, dll.

(Diadaptasi dari wawancara dengan Dr. Purwadi)

Untuk memahami makna puasa menurut budaya Jawa, perlu diingat beberapa hal. Pertama, dalam menjalani laku spiritual puasa, tata caranya berdasarkan panduan guru-guru kebatinan, ataupun lahir dari hasil penemuan sendiri para pelakunya. Sedangkan untuk mengetahui sumber panduan guru-guru kebatinan, kita harus melacak tata cara keyakinan pra Islam-Jawa. Kedua, ritual puasa ini sendiri bernuansa tasawuf / mistik. Sehingga penjelasannya pun memakai sudut pandang mistis dengan mengutamakan rasa dan mengesampingkan akal / nalar. Ketiga, dalam budaya mistik Jawa terdapat etika guruisme, di mana murid melakukan taklid buta pada Sang Guru tanpa menonjolkan kebebasan untuk bertanya. Oleh karena itu, interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya Jawa tidak dilakukan secara khusus terhadap satu jenis puasa, melainkan secara umum

Sebagai penutup, dapatlah kiranya dituliskan interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya Jawa yaitu:

1. Puasa sebagai simbol keprihatinan dan praktek asketik.

Ciri laku spiritual tapa dan pasa adalah menikmati yang tidak enak dan tidak menikmati yang enak, gembira dalam keprihatinan. Diharapkan setelah menjalani laku ini, tidak akan mudah tergoda dengan daya tarik dunia dan terbentuk pandangan spiritual yang transenden. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa pasa bertujuan untuk penyucian batin dan mencapai kesempurnaan ruh.

2. Puasa sebagai sarana penguatan batin

Dalam hal ini pasa dan tapa merupakan bentuk latihan untuk menguatkan batin. Batin akan menjadi kuat setelah adanya pengekangan nafsu dunia secara konsisten dan terarah. Tujuannya adalah untuk mendapat kesaktian, mampu berkomunikasi dengan yang gaib-gaib: Tuhan ataupun makhluk halus.

Interperetasi pertama dan kedua di atas acapkali berada dalam satu pemaknaan saja. Hal ini karena pandangan mistik yang menjiwainya, dan berlaku umum dalam dunia tasawuf. Dikatakan oleh Sayyid Husein Nasr, ”Jalan mistik sebagaimana lahir dalam bentuk tasawuf adalah salah satu jalan di mana manusia berusaha mematikan hawa nafsunya di dalam rangka supaya lahir kembali di dalam Ilahi dan oleh karenanya mengalami persatuan dengan Yang Benar” (Nasr, 2000)

3. Puasa sebagai ibadah.

Bagi orang Jawa yang menjalankan syariat Islam. puasa seperti ini dijalankan dalam hukum-hukum fiqihnya. Islam yang disadari adalah Islam dalam bentuk syariat, dan kebanyakan hidup di daerah santri dan kauman.

Referensi:

Alisyahbana, S. Takdir, Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Jurusan Nilai-nilai, 1977.

Geertz, Hildred, The Javanese Family, A Study of Kinship and Socialization, The Free Press of Glencoe, 1961.

Mengadeg, Yayasan, Terjemahan Wedhatama, Surakarta, 1975.

Mulder, Neils, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, Gramedia, Jakarta, 1983.

Nasr, Sayyid Husein, Tasauf Dulu dan Sekarang (judul asli: Living Sufism), Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000.

Suseno, Franz Magnis, Etika Jawa, Gramedia, Jakarta, 1984.

Simuh, Dr., Sufisme Jawa, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1999.

Wawancara

Dr. Purwadi, Yogyakarta, 8 Oktober 2001.

Prof. Dr. Simuh, Yogyakarta, 10 Oktober 2001.

*) Telah dimuat di majalah "Syi'ar, Ramadhan 1422 H" terbitan Islamic Center Jakarta Al Huda

**) Aktivis IJABI wilayah Jogja dan staf Yayasan RausyanFikr


Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Tak Seindah Malam Kemarin

Saturday, 26 February 2011

Hati ini tak menyangka bila akhirnya kau tinggalkanku...
Tak tertahan luka ini ku menangis tak kuasa...
Tuk menahan pedihnya hatiku...

Tanpa ada kata kau meninggalkanku menyisakan luka di hatiku...
Betapa sakitnya relung bathinku....
Merasakan hilangnya cintamu...

Malam ini tak seperti malam kemarin saat kau peluk aku...
Malam ini tak seperti malam kemarin saat kau bersamaku...
Malam ini tak seindah...... malam kemarin....

Jiwa ini tak menduga bila ku harus kehilanganmu....
Tak tertahan luka ini ku menangis tak kuasa....
Tuk menahan pedihnya hatiku....

Song : D ' Bagindas>>>
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

My YM

Status YM

My Twitter

Follow marif.handoko on Twitter

Categories

Powered by Blogger.

Followers