Menjelang bulan Ramadhan lalu, sebagian masyarakat Jawa melaksanakan upacara nyadran. Apa itu nyadran? Nyadran adalah kegiatan keagamaan tahunan yang diwujudkan dengan ziarah ke makam leluhur menjelang bulan Ramadhan. Kegiatan dalam ziarah tersebut di antaranya membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga. Biasanya para peserta nyadran membawa aneka makanan, seperti: tumpeng, apem, ingkung, pisang raja, jajanan pasar, dan kolak, ke lokasi pemakaman. Makanan-makanan ini dibawa dengan menggunakan sejumlah jodang atau yang biasa disebut tandu. Selain itu, mereka juga membawa kemenyan serta beraneka macam bunga khas Indonesia, seperti mawar, melati, dan kenanga. Dan inilah pentingnya pemeliharaan tradisi itu: karena ia tumbuh dalam masyarakat itu sendiri, ia biasanya berhubungan erat dengan sumber daya alam dan kondisi hidup setempat. Dengan kata lain, seringkali tradisi seperti inilah yang lebih ramah lingkungan dan secara langsung ataupun tidak langsung memberi pengetahuan tentang keadaan lokal. Ini yang akan memberi bekal bagi manusia yang mempelajarinya, atau juga bagi generasi muda yang masih peduli akan kondisi di sekitar mereka, karena tradisi itu tumbuh dari masyarakatnya sendiri.
Inilah pentingnya pemeliharaan tradisi itu: karena ia tumbuh dalam masyarakat itu sendiri, ia biasanya berhubungan erat dengan sumber daya alam dan kondisi hidup setempat. Dengan kata lain, seringkali tradisi seperti inilah yang lebih ramah lingkungan dan secara langsung ataupun tidak langsung memberi pengetahuan tentang keadaan lokal. Ini yang akan memberi bekal bagi manusia yang mempelajarinya, atau juga bagi generasi muda yang masih peduli akan kondisi di sekitar mereka, karena tradisi itu tumbuh dari masyarakatnya sendiri.
Nyadran dilakukan setiap bulan Sya’ban atau dalam kalender Jawa disebut bulan Ruwah. Sulit ditelusuri sejak kapan tradisi ini berlangsung di masyarakat kita. Seorang ahli menyatakan bahwa tradisi nyadran mempunyai kemiripan dengan craddha pada masa kerajaan Majapahit. Kemiripan tersebut terlihat pada kegiatan manusia “berinteraksi” dengan leluhur yang telah meninggal, seperti pengorbanan, sesaji, dan ritual sesembahan yang hakikatnya adalah bentuk penghormatan terhadap yang sudah meninggal.
Lazimnya kegiatan nyadran dilakukan dengan ziarah ke makam-makam leluhur atau orang besar (para tokoh) yang berpengaruh dalam menyiarkan agama Islam pada masa lalu. Masyarakat di satu daerah memiliki lokasi ziarah masing-masing. Semisal di Desa Wijirejo, Bantul, nyadran dilaksanakan di makam Panembahan Bodo. Panembahan Bodo adalah nama lain dari Raden Trenggono, yang dipercaya menyiarkan Islam di daerah ini. Di Dusun Panjang Lor, Kabupaten Semarang, nyadran dilakukan di makam Nyi Tirto Tinoyo atau lebih dikenal sebagai Nyi Panjang. Warga setempat meyakini bahwa Nyi Panjang merupakan istri lurah pertama di sana yang menjadi cikal-bakal Kampung Panjang. Masyarakat di Desa Bulakan, Kabupaten Sukoharjo, menyelenggarakan ritual nyadran di Pemakaman Gesingan. Sedangkan warga Desa Jetis, Kabupaten Temanggung, menyelenggarakan ritual nyadran di kompleks pemakaman leluhur mereka di kaki Gunung Sumbing.
Selain di daerah Jawa Tengah, masyarakat pesisir pantai utara, seperti Cirebon juga mengenal nyadran. Di Cirebon, nyadran dikenal sebagai upacara buang saji ke lautan lepas . Tujuan utama dari upacara ini adalah rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas hasil tangkapan ikan yang berlimpah karena masyarakat di sini sebagian besar nelayan. Setelah melaksanakan nyadran, masyarakat lazimnya melakukan tradisi padusan. Padusan berasal dari bahasa Jawa, yaitu adus (mandi). Padusan merupakan kegiatan mandi (bersih diri), yang mempunyai makna persiapan lahir dan batin menuju bulan Ramadhan. Biasanya padusan dilakukan di sumber-sumber air yang dianggap sakral/suci.
Karena ritualnya yang menyertakan sesaji, tradisi nyadran seringkali mengundang perdebatan di kalangan umat Islam. Mereka yang menolak tradisi nyadran berpendapat kalau tradisi ini syirik dan tidak perlu dilaksanakan. Sedangkan yang menghendaki nyadran berpendapat kalau tradisi nyadran sah-sah saja, asal tidak menyembah makam leluhur. Memang tradisi ini kental dengan kebudayaan Hindu dan Budha. Tradisi semacam nyadran telah dikenal nenek moyang kita sejak dahulu. Setelah Islam masuk ke Nusantara (sekitar abad ke-13), tradisi semacam nyadran yang telah dikenal masyarakat ini, perlahan-lahan mulai terakulturasi dengan ajaran Islam. Saat Wali Songo menyiarkan Islam di Jawa, tradisi ini kembali “dimodifikasi”. Akhirnya terjadi perpaduan ritual, antara kepercayaan masyarakat Jawa dengan ajaran Islam, yang lalu menghasilkan tradisi nyadran.
Di dalam nyadran juga terdapat inti budaya Jawa, yaitu harmoni atau keselarasan. Masyarakat Jawa bukan saja mengharapkan harmoni dalam hubungan antar manusia, tetapi juga dengan alam semesta, bahkan dengan roh-roh gaib. Maka dalam upacara nyadran, sesaji diberikan. Sesaji bukan bertujuan untuk “menyembah” roh-roh gaib, melainkan menciptakan keselarasan dengan seluruh alam.
Aneka makanan, kemenyan, dan bunga memiliki arti simbolis. Tumpeng, melambangkan sebuah pengharapan kepada Tuhan agar permohonan terkabul; Ingkung (ayam yang dimasak utuh) melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan; pisang raja melambangkan suatu harapan supaya kelak hidup bahagia; jajan pasar melambangkan harapan berkah dari Tuhan; ketan, kolak, dan apem, merupakan satu-kesatuan yang bermakna permohonan ampun jika melakukan kesalahan; kemenyan merupakan sarana permohonan pada waktu berdoa; dan bunga, melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati tulus. Beraneka “bawaan” ini merupakan unsur sesaji sebagai dasar landasan doa. Setelah berdoa, makanan-makanan tersebut menjadi rebutan para peziarah yang hadir. Inilah arti kebersamaan dalam nyadran. Di dalam nyadran juga terdapat inti budaya Jawa, yaitu harmoni atau keselarasan. Masyarakat Jawa bukan saja mengharapkan harmoni dalam hubungan antar manusia, tetapi juga dengan alam semesta, bahkan dengan roh-roh gaib. Maka dalam upacara nyadran, sesaji diberikan. Sesaji bukan bertujuan untuk “menyembah” roh-roh gaib, melainkan menciptakan keselarasan dengan seluruh alam. Nyadran juga merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas rejeki yang diterima dan menghormati leluhur.
Ketika masyarakat melaksanakan nyadran, mereka harus bekerja bersama. Ada unsur gotong-royong, kebersamaan, kasih sayang, dan pengorbanan di dalamnya. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi antar anggota masyarakat. Karena itulah, tradisi nyadran akrab dengan nilai kearifan lokal bangsa kita.
Selain makna-makna tersebut, nyadran juga memiliki makna sosial. Ketika masyarakat melaksanakan nyadran, mereka harus bekerja bersama. Ada unsur gotong-royong, kebersamaan, kasih sayang, dan pengorbanan di dalamnya. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi antar anggota masyarakat. Karena itulah, tradisi nyadran akrab dengan nilai kearifan lokal bangsa kita.
FANDY HUTARI, penulis lepas, penyuka seni dan budaya Indonesia.
Bukunya, Sandiwara dan Perang, diterbitkan pada tahun 2009.
Beberapa artikelnya tentang seni drama telah dipublikasi di media.
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
SEO
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment